Sabtu, Desember 05, 2009

mengenal lebih dalam Dysleksia

Seorang ibu muda (identitas dirahasiakan) agak cemas ketika anaknya yang berumur 3 tahun selalu terbalik-balik mengucap kata-kata tertentu. Misalnya saja kata sobek disebut sebok atau kata gajah disebut jagah. Setelah diperiksa, ternyata si anak menderita disleksia. Sebenernya disleksia itu apa sih?

Kata Disleksia diambil dari bahasa Yunani, dys yang berarti "sulit dalam ..." dan lex (berasal dari legein, yang artinya berbicara). Jadi Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu.

Yang menarik, disleksia ternyata tidak hanya menyangkut kemampuan baca dan tulis, melainkan bisa juga berupa gangguan dalam mendengarkan atau mengikuti petunjuk, bisa pula dalam kemampuan bahasa ekspresif atau reseptif, kemampuan membaca rentetan angka, kemampuan mengingat, kemampuan dalam mempelajari matematika atau berhitung, kemampuan bernyanyi, memahami irama musik, dll.

Sebagian ahli membagi disleksia sebagai visiual, disleksia auditori dan disleksia kombinasi (visual-auditori). Sebagian ahli lain membagi disleksia berdasarkan apa yang dipersepsi oleh mereka yang mengalaminya yaitu persepsi pembalikan konsep (suatu kata dipersepsi sebagai lawan katanya), persepsi disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata berpindah tempat dari depan ke belakang atau sebaliknya, dari barisan atas ke barisan bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam cermin, dan persepsi di mana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “ menghilang.”


Siapa saja yang dapat mengalami disleksia?

Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-65% orangtua disleksia mempunyai anak disleksia juga.

Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian – penelitian terkini menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan perempuan yang menglami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan.

Prof. John Stein dari Universitas Oxford dan Prof. Tony Monaco dari sebuah pusat penelitian tentang gen manusia, telah menemukan tiga gen sama yang berhubungan dengan disleksia dalam sampel darah para penderita. “Penemuan ini membuktikan bahwa disleksia memang karena faktor keturunan atau bawaan,” kata Prof Stein.

Penelitian dilakukan dengan mempelajari sampel DNA (deoxyribonucleic acid atau sel inti) yang terdiri atas materi genetik berupa darah dari 90 keluarga.

Anak dengan kelainan disleksia, menurut penelitian, dilahirkan dari keluarga dengan kesulitan kronis dalam membaca atau mengeja, sekalipun intelegensi mereka cukup tinggi. Selain itu para peneliti menemukan bahwa susunan kromosom kaum disleksia berhubungan erat dengan sistem kontrol imunitas. Ini menunjukkan, para penderitanya rentan terhadap serangan dari antibodi.

Bagaimana gejala atau cirinya ?

Sebenarnya, gejala disleksia bisa dideteksi sejak anak berusia dini, misalnya pada usia prasekolah atau sekolah dasar, dengan memperhatikan beberapa ciri berikut ini:

1. Anak mengalami kesulitan berbicara, serta mengucapkan kata-kata panjang secara benar.
2. Kesulitan mempelajari susunan alfabet, mengurutkan hari dalam seminggu, serta mengenali warna, bentuk, dan angka.
3. Kesulitan mengenali dan melafalkan bunyi huruf.
4. Tidak mampu membaca dan menuliskan namanya sendiri.
5. Kesulitan dalam mengeja kata atau suku kata.
6. Tidak bisa membedakan antara kanan dengan kiri.
7. Sering menulis huruf atau angka secara terbalik.
8. Menemui kesulitan dalam pelajaran berhitung.
9. Kesulitan mengikuti instruksi yang terdiri atas beberapa langkah.

Bisa sembuh kah?

Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. “Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah kareana disleksia nya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut.

Mengingat demikian “kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin “mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.

Apa yang dapat dilakukan ?

Begitu seorang anak ditemukan mempunyai kelainan disleksia, berikan terapi sedini mungkin. Latihan remedial teaching (terapi mengulang) dengan penuh kesabaran dan ketekunan biasanya akan membantu si anak mengatasi kesulitannya.

Untuk mereka yang memiliki gangguan penyerta, bisa ditambah dengan terapi perilaku. Atau, tambahan terapi wicara bagi mereka yang disertai kesulitan wicara.

atau dengan memberikan perhatian khusus disekolah oleh para guru pengajar dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut :
Spoiler for hal yang harus dilakukan:

1. Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru

2. Anak duduk di barisan paling depan di kelas

3. Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas,
misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50.

4. Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)

5. Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.

6. Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.

7. Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.

8. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.


Penyebab disleksia ada beberapa macam, yakni faktor keturunan, gangguan pendengaran sejak dini dan faktor kombinasi kedua hal yang tersebut.


KEUNTUNGAN MENJADI DISLEKSIA

apa yang dapat diperbuat oleh penderita disleksia dan orang lain tidak ?

Kekuatan dari Creative Thinkers (pemikir yang kreatif)
Banyak penderita Disleksia mampu dan bisa sangat sukses setelah mempelajari beberapa strategi mengatasi. Inilah sebabnya kita lebih suka menyebut mereka, lebih tepat, dan pemikir yang kreatif.


apa saja kekuatan mereka:
1. Ketekunan,
2. Konsentrasi
3. Persepsi
4. Imajinasi,
5. Kreativitas
6. Mengarahkan dan ambisi,
7. Penasaran,
8. Berpikir dalam gambar, bukan kata-kata,
9. Penalaran yang superior
10. Mampu melihat sesuatu secara berbeda dari orang lain,
11. Menyukai kompleksitas,
12. Mengolahan beberapa stimulus pikiran,
13. Cepat menguasai konsep-konsep baru, dan
14. Tidak mengikuti orang pada umumnya (orang bnyak).


Beberapa orang sukses yang mengaku menderita disleksia:

Tokoh-tokoh dunia penderita Disleksia:

Tom Cruise - Aktor
Jay Leno - Pembawa acara (Tonight Show)
Thomas Edison - Penemu
Albert Einstein - Penemu
Winston Churchill - Perdana Menteri Inggris pada Perang Dunia II
George Bush - Mantan Presiden AS
George Patton - US General, WWII
George Burns - Aktor Komedi
Whoopi Goldberg - Aktris
Danny Glover - Aktor
Cher - Aktris, Penyanyi
Liz Taylor - Aktris
ladylovesred is offline

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kaskus.Us

Jasa Murah Edit & Bikin Blog

Copy Paste Copyright © 2009 Original Designed by Ipietoon Edited by akunamasao